Senin, 23 Maret 2009

Pengalaman Pertama Raihan ke Dokter Gigi

Beberapa hari belakangan ini Raihan sering mengeluh sakit gigi. Mungkin kebiasaannya makan coklat membuat giginya berlubang. Akhirnya aku membawanya ke dokter gigi tempat Rosa biasa mendapat perawatan gigi, sekalian ngecek gigi Rosa yang sudah banyak yang berganti gigi dewasa.
Untungnya tidak ada kesulitan mengajak Raihan ke dokter gigi. Tidak ada penolakan ketika kami bersiap-siap berangkat.

Raihan malah bilang “Nanti diperikas pake tetokkop” (stetoskop maksudnya)
Hehehe…sempat geli juga mendengarnya, bayangin aja gimana kalau dokter meriksa gigi pake stetoskop. Aku jelaskan saja, kalau dokter gigi itu memeriksa gigi pake cermin kecil yang dimasukin ke mulut. Eee, Raihan tetap ngotot
“Bukan, pake tetokkop”, balasnya.
“Kalau begitu, kita liat saja nanti “, jawabku mengalah.
Kami harus menunggu beberapa saat karena dokter belum datang. Akhirnya perawat memanggil kami masuk ke ruang praktek.
Raihan mendapat giliran pertama karena dialah yang bermasalah dengan giginya. Bapaknya mengangkatnya ke kursi pasien dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Seperti biasa, dokter meminta Raihan berkumur. Aku mengambil gelas air mineral dan mendekatkan ke bibirnya sambil memintanya untu berkumur. Raihanpun menyeruput air tersebut dan glek, ternyata ait tersebut diminumnya. Hmmmmm. Untung saja airnya, air mineral. Raihan memperhatikan dokter yang mulai memasang masker, sarung tangan, dan mengambil peralatannya.
Tibalah acara membuka mulut. Setelah dibujuk-bujuk, Raihan baru mau membuka mulutnya lebar-lebar. Sebuah cermin kecil bertangkai yang biasa digunakan dokter gigi untuk mengamati kondisi gigi pasien masuk ke mulut Raihan, dari bahasa tubuhnya, aku melihat penolakan di sana. Tapi dia tidak berkata apa-apa.
Ketika dokter mengambil peralatan berupa semprotan air kecil dan ingin memasukkan ke mulut Raihan, Raihan tiba-tiba mendorong tangan dokter dan bertanya
“Apa ini? Untuk apa?” sambil menangis.
“Ini semprot air, untuk membersihkan gigi Raihan”, jawab dokter lembut sambil memperlihatkan air yang terpancar dari alat tersebut.
“Sekarang buka mulutnya, ya”
Raihanpun membuka mulutnya, ada kecemasan di wajahnya. Mungkin yang ada di benaknya “Aku mau diapain nih, sakit ga ya?”
Kembali dokter mengambil peralatannya, kali ini semacam kait berujung runcing. Untuk kedua kalinya Raihan mendorong tangan dokter dan melontarkan pertanyaan yang sama “Apa ini ? Untuk apa?”
Terus seperti itu, setiap dokter memegang perlatan baru.
Ketika dokter membersihakan giginya yang berlubang kecil, Raihan meringis dan meminta aku memeluknya. Dokter kemudian menawarkan, apakah Raihan ingin dipangku. Akhirnya aku memangkunya, dan itu membuat Raihan menjadi lebih tenang. Dokterpun bisa menjalankan tugasnya dengan lebih lancar. Graham atas Raihan ditambal sementara. Fiuuuuh. Akhirnya seselesai juga. Sebelum turun dari kursi pasien, Raihan masih sempat menanyakan tombol merah di dekat gelas kumur.
“Apa itu yang warna merah ?”
Raihan, Raihan,……..semuanya tersenyum melihatnya.
Giliran berikutnya, Rosa. Ternyata si kakakpun minta dipangku, meskipun ini bukan kali pertama Rosa ke dokter gigi. Gigi geraham pertamya telah terganti, tetapi karena giginya rapuh, masih ada potongan geraham yang belum tercabut. Setelah mengamati kondisi gigi Rosa, dokter memberi kasa sterli yang diolesi obat seperti pasta gigi dengan wangi strawberi, dan meminta Rosa menggigitnya. Tunggu beberapa menit, kasa dilepaskan dan gigi kecil tadi siap-siap dicabut. Rosa cemas, itu kurasakan dari genggaman tangannya yang semakin kuat. Dokter mengambil peralatannya dan hup, dalam sekejap gigi kecil itu tercabut. Rosa sedikit mengerang. Terakhir, dokter memberikan kasa yang di tetesi antiseptic dan meminta Rosa menggigitnya. Selesai.
Raihan diminta kembali hari Senin jika giginya terasa sakit, jika tidak kami di minta membawanya kembali 10 hari setelahnya untuk mengganti tambalan sementara dengan yang permanen.
Raihan berjanji tidak akan nangis lagi pada kunjungan berikutnya, bahkan tidak ingin dipangku lagi.

Melatih Si Kecil Tidak Ngompol

Umumnya anak mampu mengontrol BAK pada usia 2-3 tahun. Tetapi toilet training sudah dapat diajarkan ketika anak memasuki usia 18 bulan. Pada usia ini anak sudah memiliki keinginan untuk dapat mengontrol BAK. Jika toilet training dilakukan lebih awal, akan terjadi pemanjangan waktu belajar menjadi sampai dengan usia 4 tahun. Hal ini disebabkan karena anak belum meiliki keinginan untuk dirinya sehingga toilet training yang lebih cepat dapat menimbulkan trauma yang akan mengakibatkan perlambatan pencapaian tujuan.

Pada siang hari anak dibiasakan untuk BAK di toilet pada interval waktu tertentu, misalnya setiap 2 jam sekali atau tergantung kebiasaan anak. Semakin lama, interval waktu tersebut semakin panjang sehingga anak mampu menahan BAKnya.
Pada malam hari, biasakan anak ke toilet sebelum tidur. Kurangi minum sebelum tidur, kalau bisa kurangi minum susu di malam hari jika anak terbisa terbangun di malam hari untuk minum susu. Buat catatan kebiasaan BAK anak pada malam hari. Dengan berbekal catatan tersebut, bangunkan anak sebelum jadwal BAKnya tiba. Ajaklah untuk BAK di toilet dengan mengajaknya jalan meskipun setengah tertidur, tuntunlah tangannya untuk menurunkan sendiri celananya, dan tuntun memakainya kembali setelah BAK selesai. Hal ini berguna untuk menamkan ke alam bawah sadar anak bahwa jika ingin BAK di malam hari dia harus berjalan ke toilet dan membuka celananya. Diharapkan setelah pelatihan ini berhasil, anak akan bangun sendiri untuk BAK.
Beberapa hal yang dijelaskan di atas merupakan teori yang berasal dari berbagai sumber. Pada prakteknya, mungkin saja hal tersebut akan berhasil dengan mudah, tapi kemungkinan juga kita sebagai orang tua akan mengalami berbagai kendala tergantung karakteristik anak-anak kita yang memang berbeda-beda. Mau tidak mau dituntut kreativitas dari masing-masing orang tua.
Pengalaman saya sebagai ibu dari 2 orang anak, mungkin dapat menjadi sumber inspirasi. Menangani putri pertama saya sangat jauh berbeda dengan adiknya. Putri pertama saya sangat kuat minum susu, waktu itu ASI saya berikan sampai umurnya 4 bulan saja karena harus bekerja lagi. Saking kuatnya minum susu dia bisa BAK setiap jam. Toilet training mulai saya perkenalkan sejak usianya memasuki 9 bulan. Terlalu dini memang, tetapi frekwensi BAK yang terlalu sering membuat terlalu banyak celana yang diompoli, belum lagi dia seringkali beramain dengan ompolnya sendiri . Hal tersebut membuat saya mulai mengajaknya pipis di toilet pada usia yang sangat dini.
Jika siang, saya mengajaknya ke toilet setiap 1 jam sekali, itupun masih sering kecolongan, si kecil BAK sebelum 1 jam berikutnya. Tapi lama kelamaan jadi terlatih. Mulai dari setiap 1 jam, 1,5 jam, 2 jam, dst, sampai akhirnya dia bisa bicara dan bilang kalau ingin pipis. Ketika hendak mengajaknya ke toilet, saya mengatakan “mau pipis ya ?, yuk pipis di kamar mandi”. Ketika berumur 1,5 tahun dia menolak pakai diaper, sejak saat itu latihan ke toilet semakin gencar, apalagi ketika itu dia sudah lumayan lancar berbicara. Saya selalu mengingatkan untuk bilang kalau mau pipis. Tapi kadang bilang, kadang juga mulutnya belum sempat menyelesaikan kata-katanya ,pipis sudah mengalir ke lantai , apalagi kalau lagi asyik main. Waduuh, gak mudah ternyata. Karena kesabaran saya sudah mulai menipis, akhirnya saya buat perjanjian, kalau ngompol lagi hukumannya adalah satu kali cubitan di pantat. Sebenarnya tidak tega juga sih nyubit si kecil, tapi karena sudah dibuat kesepakatan, ya, hukuman itu harus dijalankan. Hukuman itu saya terapkan karena berpikir si kecil sebenarnya sudah tau kalau mau pipis tetapi ditahan karena keasyikan main.
Ternyata strategi saya tidak berhasil, hasilnya bukan kepatuhan malah si kecil mulai pintar mengelak. Kalau habis main saya mendapati celananya basah, dia malah bilang kalau tadi ketumpahan air waktu main. Padahal saya tahu bedanya basah karena air atau karena ompol. Pikirku, hukuman ternyata tidak cocok untuk kasus si kecil. Bagiku kejujuran adalah hal yang paling utama. Akhirnya kutegaskan sama si kecil “kalau adek pipis, bilang saja, tidak apa-apa koq, Mama tidak akan nyubit, yang penting adek jujur”. Pada akhirnya si kecil mengaku dan sayapun harus menepati janji. Sejak saat itu, kesepakatan kami tidak berlaku lagi. Kejadian itu membuat saya berpikir panjang kalau harus menerapkan hukuman fisik. Gak lagi, deh……..
Pada akhirnya saya harus menyadari bahwa memang dibutuhkan kesabaran ekstra untuk menangani si kecil. Stratagi semulapun mulai dijalankan lebih ketat. Setiap 2 jam saya bertanya pada si kecil apakah dia mau BAK untuk mengingatkan dan mengajar si kecil merasakan jika kandung kemihnya harus dikosongkan. Sabar dan telaten, itulah kuncinya. Tak perlu hukuman karena saat itu si kecil dalam tahap belajar.
Melatih untuk bangun BAK di malam hari jauh lebih berat. Si kecil sangat kuat minum susu pada malam hari, bisa terbangun 3 sampai 4 kali untuk minta susu. Sangat sulit untuk mengurangi konsumsi susunya di malam hari, yang ada si kecil malah ngamuk kalau permintaanya tidak dituruti. Otomatis pipisnya juga lebih sering, kan? Biasanya sebelum tidur si kecil minum sebotol susu itu berarti 1 jam setelah tertidur, saya harus mengajaknya ke toilet untuk BAK dan setiap jam setelah itu. Atau ketika si kecil terbangun untuk minta susu, saya mengajaknya ke toilet dulu. Setiap malam. waker harus disetel tiap jam. Kalau saya ketiduran, pasti deh tempat tidurnya basah. Untungnya saya masih memakaikan perlak sebagai alas tidur , jadi kasur tidak basah. Dan karena hal tersebut sudah saya lakukan sejak si kecil berumur 9 bulan, ketika waktu BAKnya tiba, saya mengangkat si keci ke toilet dan piss…,sambil merem-merem, si kecilpun pipis. Kabar baiknya, si kecil tidak pernah mengamuk jika dibagunkan untuk pipis, mungkin karena kandung kemihnya selalu terisi sehingga si kecil tidak pernah menolak di ajak pipis.
Sebelum usia 2 tahun si kecil tidak pernah ngompol lagi baik siang maupun malam hari.
Lain lagi ceritanya dengan putra keduaku. Sejak lahir dia tidak terlalu banyak minum ASI, setelah minum susu formulapun demikian. Makanya frekwensi BAKnya tidak terlalu sering, paling 3 atau 4 jam sekali. Tidak perlu usaha ekstra ketat karena interval BAKnya tidak terlau dekat. Toilet trainingpun baru saya kenalkan ketika si kecil berumur 1 tahun. Siang hari diajak ke toilet setiap 3-4 jam sekali atau ketika bangun tidur. Malam hari, paling dibangunkan 1 atau 2 kali. Karena alasan kepraktisan dan si kecil yang banyak gerak, dia tidur malam tanpa perlak tapi menggunakan diaper. Meskipun pakai diaper, si kecil tetap ku ajak ke toilet jika waktu BAKnya tiba. Berbeda debgan kakaknya (bukankah setiap anak memang beda?), si kecil terkadang tidak mau di ajak pipis kalaupun mau, kadang sambil nangis. Tetapi itu tidak menyurutkan saya untuk terus melatihnya. Si kecilpun berhenti ngompol di siang hari pada usia 1.5 tahun dan berhenti ngompol pada malam hari sebelum usianya genap 2 tahun.

Jumat, 06 Maret 2009

Thank You Allah for Sent Me Ibu Maria

Menjadi ibu rumah tangga sekaligus pegawai kantoran seringkali membuat aku harus pontang-panting kejar-kejaran dengan waktu. Rasanya 24 jam dalam sehari masih belum cukup untuk mengurusi segala pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak-anak. Akhir pekan yang seharusnya mejadi hari kumpul keluarga menjadi hari kerja bakti. Cucian yang numpuk, rumah yang berantkan, belum lagi harus kepasar, masak, dan menyiapkan bahan makanan untuk 1 pekan kedepan adalah jadwal tetap di akhir pekan. Kalaupun bela-belain meluangkan waktu untuk anak, terpksa sebagian pekerjaan rumah jadi terbengkalai.

Tapi itu dulu, sebelum aku punya khadimat. Tanggal 12 Pebruari 2009 saya resmi mempekerjakan seorang ibu untuk bantu-bantu pekerjaan rumah terutama mencuci pakaian, menyetrika, beres-beres rumah, dan yang paling penting ada yang nungguin Rosa di rumah.
Ibu Maria, begitu kami sekeluarga memanggilnya. Beliau tinggal di dekat rumah sehingga tidak perlu nginap di rumah kami. Tugas utamanya menemani Rosa di pagi hari ketika menunggu mobil jemputan sekolah. sambil menemani Rosa, si ibu membersihkan rumah, bebenah, dan mencuci. Setelah semua pelerjaan rumah selesai dan Rosa berangkat sekolah, Ibu Maria pulang ke rumah. Habis Ashar, ibu balik lagi ke rumah untuk menyetrika pakaian yang tadi pagi dicuci sambil menemani Rosa yang pulang sekolah jam 4 sore. Sengaja aku tidak mendelegasikan tugas memasak kepada Ibu Maria, karena untuk saat ini aku masih bisa menanganinya. Ibu Maria balik ke rumahnya setelah pulang kantor. Hari Minggu si ibu libur, bahkan hari Sabtupun aku liburin kalau semua cucian dan strikaan sudah beres.
Sejak ada ibu Maria aku merasa sangat terbantu. Akhir pekan bisa full untuk keluarga. Tidak ada lagi kerja bakti akhir pekan.
Dulu pulang sekolah, Rosa di antar ke rumah neneknya padahal jarak antara rumah dan sekolah hanya sekitar 500 meter. Sekarang, Rosa bisa langsung pulang ke rumah, mandi sore, dan melakukan kegiatan kesukaannya.
Hal lain yang berubah adalah kami jarang makan malam di luar karena begitu pulang kantor kami langsung pulang ke rumah tidak harus berlama-lama di rumah ibu ketika menjemput Rere yang memang dititip di sana Kami tidak ingin membiarkan Rosa menuggu lama di rumah. Jadinya, kami bisa nyampe rumah sebelum Magrib, dan aku bisa masak untuk makan malam keluarga.
Thank you Allah for sent me Ibu Maria, I feel manythings change in my life.

GOOD BYE, BOTOL SUSUKU……….!

Salah satu hal yang sulit dalam proses pengasuhan anak adalah menghentikan kebiasaan yang telah berlangsung lama. Misalnya menghentikan kebiasaan minum susu menggunakan dot.
Putra hebatku Raihan telah berhasil menghentikan kebiasaannya itu tepat pada ulang tahunnya yang ketiga tanggal 26 Januari lalu. Meskipun tidak langsung berhenti secara total, tetapi paling tidak pada siang hari Rere sudah minum susu menggunakan gelas.

Sebenarnya, menurut artikel yang pernah saya baca, sebaiknya kebiasaan minum susu menggunakan dot dihentikan sejak anak berumur 1,5 tahun karena setelah umur tersebut, anak akan lebih sulit untuk dipisahkan dari dotnya. Tapi, apa daya, aku tidak tega memisahkannya dari botol susunya pada usia tersebut, mengingat ketika berumur 1 bulan, Rere sempat kehilangan bobot tubuhnya sekitar 1,5 kilo karena tidak mau minu ASI. Apa lagi pengalaman kakaknya yang begitu berhenti minum susu dengan dot langsung stop minum susu dan tubuh montoknya terpaksa susut meskipun tidak terlampau signifikan.
Setelah melihat perkembangan berat badan dan nafsu makannya yang semakin baik, mulailah aku memutuskan untuk memisahkannnya dengan dot pada ultahnya yang ketiga. Keputusan itu kuambil ketika umurnya sekitar 2,5 tahun.
Sejak saat itu, aku mulai menyampaikan padanya “Raihan sekarang sudah besar, minum susunya di gelas saja ya?” Pertanyaan itu kadang dijawab dengan “ya” kadang juga dengan wajah cemberut pertanda penolakan. Bahkan meskipun jawabannya adalah “ya”, setelah susu siap di gelas, dia menolak meminumnya atau meminumnya sedikit saja dan setelah itu meminta saya untuk memindahkannya ke botol susunya. Kadang-kadang malah dia menyuruhku membuang susunya sambil ngamuk-ngamuk karena “minum susu di gelas ga enak”, begitu katanya.
Jika salah satu usaha yang kulakukan tidak menunjukkan hasil, aku mencoba cara lain. Membelikan gelas bermoncong dengan gambar menarik ternyata tidak juga bisa mengalihkannya dari botol susunya. Kebetulan dia sering menggigit-gigit karet dotnya, aku menggunakan itu untuk mengubah kebiasaan minum susunya.
“Raihan, kalau karet dotnya putus, mama tidak mau membelikan lagi dot yang baru karena di toko tidak ada dijual karet dot untuk anak besar, Raihan kan sudah besar. Tidak seperti adek bayi yang minum susu pake dot”.
Kalimat bujukan itu, dulu berhasil untuk kakaknya. Setelah karet dotnya putus, si kakak langsung meninggalkan botol susunya.
Tapi memang setiap anak berbeda, ternyata cara itu tidak cukup ampuh untuk menghentikan kebiasaannya. Raihan malah semakin hati-hati dengan karet dotnya, bahkan sampai meninggalkan botol susunya, dot itu utuh. Lucu juga sih, padahal sebelumnya karet dotnya diganti setiap bulan karena hampir putus digigiti.
Sambil mencoba-coba cara baru, aku takhenti-hentinya menekankan bahwa Rere sudah besar dan tidak memerlukan botol susunya lagi.
Tidak mudah memang, diperlukan ekstra kesabaran, bahkan terkadang aku merasa hampir menyerah.
Tepat pada ultahnya yang ketiga, aku mulai memisahkannya dengan dotnya pada siang hari. Pada malam hari aku memberinya dispensasi karena ketika tidur Rere masih sering terbagun untuk minta dibuatkan susu. Mulai saat itu, siang hari terutama ketika aku ada di rumah menjadi terasa berat melewatinya.
Sebenarnya Senin sampai Jum’at, Rere aku titip di rumah neneknya, dan dia tidak pernah rewel, karena botol susunya memang sudah dilenyapkan dari peredaran sehingga Rere beranggapan botolnya memang tidak ada, sehingga terpaksa harus minum susu dari gelas. Tapi jika sabtu dan minggu di rumah, hhhh, terpaksa aku harus beradu mulut dengannya karena dia terus memaksa untuk dibuatkan susu di botol. Untung saja aku tidak goyah oleh rayuan dan rengekannya. Meskipun sebenarnya gak tega melihatnya ngamuk-ngamuk dan menangis aku harus kuat, karena sekali saja aku mengalah, maka itu berarti aku harus mengulang dari awal dan itu juga berarti akan mengundur waktu untuk mengubah kebiasaan minum susunya. Paling aku hanya bisa memeluk dan menyeka air matanya dan menghiburnya.
“Rere kan sudah besar, yang minum susu dari botol cuma adek bayi”, bujukku waktu itu.
“Coba Rere berdiri”, diapun menurut dan berdiri di depanku.
“Tuuh, sudah tinggi”, kemudian kuangkat Raihan ke dalam gendonganku
“Aduuuh, berat sekali, memang anak mama sudah besar”
Dan biasanya setelah dibujuk-bujuk, Raihanpun akan mengalah dan minta dibuatkan susu di gelas meskipun kadang tak disentuhnya sama sekali. Tetapi jika dia berhasil menghabiskan segelas susunya, aku tak lupa memujinya “anak pintar”.
Suatu hari, sepupunya minum susu UHT. Mungkin karena sepupunya kelihatan sangat menikmati, diapun tertarik untuk minum. Ternyata Rere suka. Mulai saat itu aku membelikannya susu UHT, awalnya putih tetapi belakangan dia lebih suka yang coklat. Jadilah pada siang hari Rere minum susu UHT dan malamnya minum susu instant menggunakan dot.
Entah kenapa, pada hari Sabtu 7 Pebruari lalu, ketika menjelang tidur Raihan minta diambilkan susu di gelas. Aku masih kaget, dan menanyakan kembali padanya
“ Di gelas, nak” , dia hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Betapa bahgianya aku saat itu, sebahagia ketika dia mulai mengkahkan kaki mungilnya untuk pertama kali. Kuangkat dua jempolku untuk memuji kemajuannya, dan sebelum beranjak ke dapur mengambil susu untuknya, aku tak lupa mendaratkan ciuman ke kedua pipinya seraya mengucapkan “anak pintar, sudah besar ya “, dan diapun tersenyum.
Sejak saat itu, Raihan meninggalkan botol susunya untuk selama-lamanya. Awalnya aku khawatir susu coklat akan merusak giginya karena di minum pada malam hari , tetapi kusiasati dengan memberinya air putih setelah minum susu. Tapi ternyata kebiasaan itu tidak berlangsung lama. Sekarang , Raihan tidak pernah lagi bangun dimalam hari untuk minta susu. Siang haripun dia masih minum susu UHT sesukanya.
Selamat buat Rere.