Kamis, 11 September 2008

Plaak, Paha Rosapun Jadi Sasaran

Raihan, bocah 2,5 tahun ini sangat aktif. Tubuhnya selalu tak pernah berhenti bergerak seolah energy yang tersimpan di dalam tubuhnya tak ada habisnya. Paling suka main kejar-kejaran dan ngisengin orang. Makanya jangan heran kalau sementara bermain, tiba-tiba, pal aak, pukulannya melayang ke sepupu atau kakaknya yang sedang asyik membaca atau sekedar nyantai di depan tivi.
Seperti malam itu, Raihan yang asyiik mengejar Kiki sepupunya tiba-tiba lewat di samping Rosa, dan, plaak, paha Rosapun jadi sasaran. Tentu saja, putri ku yang memang manja itu langsung mewek, huuuu…huuuu….Aku yang saat itu sedang membantu Ainun (keponakanku) bikin PR cuma bisa menghibur Rosa dan mengingatkan Raihan untuk tidak mengulangi perbuatannya.


Tapi, namanya juga anak-anak, sekan tak mengerti peringatanku, belum 5 menit setelah kejadian pertama, Raihan kembali berusaha melayangkan pukulan ke kakaknya yang sedang nonton tivi. Untung saja, aku masih sempat menghalanginya. Dasar Raihan yang pantang menyerah, dia terus berusaha agar pukulannya tepat sasaran, tentu saja dengan tak kalah gigihnya aku menghalangi usahanya dengan menangkap tangannya. Tapi karena Raihan tak kunjung menyerah, akhirnya kutangkap tubuhnya, kududukkan dipangkuanku, dan kupeluk tubunnya erat-erat sambil menatap matanya dalam-dalam untuk menunjukkan bahwa aku tidak setuju dengan tindakannya. Tentu saja Raihan meronta, tetapi tetap saja kupeluk dan ku tatap matanya tanpa sepatah katapun. Raihan mulai menangis, tubuhnya sudah dibanjiri keringat. Pelukakanku tetap kurapatkan. Akhirnya dia berkata “Ma, au unta” untuk mengungkapkan bahwa dia ingin muntah. Memang Raihan sering kali muntah kalau kebanyakan menangis. Masih tanpa kata-kata, aku menggendongnya ke belakang untuk muntah. Eeh, ternyata tidak jadi.
Tangisnyapu mulai mereda. Aku memberinya penjelasan bahwa jika Raihan tidak mau disakiti, jangan pernah menyakiti orang lain. Aku tiadak tahu dia mengerti dengan penjelasanku atau tidak, yang pasti aku sering mengulang kata-kata itu untuk menyampaikan padanya bahwa jika dia merasa sakit kalau dipukul, orang lainpun merasakan sakit yang sama. Aku tidak perlu memukulnya untuk memberinya pelajaran mengenai rasa sakit. Toh dalam pelajarannya bersosialisi dengan anak lain, Raihan pernah merasakan bagaimana rasa sakit karena dipukul. Semoga seiring dengan perkembangan usianya, suatu saat nanti Raihan akan mengerti hal itu dan menghentikan kebiasaannya memukul anak lain.


Rosmini Laiya
Makassar, 11 September 2008


Rabu, 10 September 2008

Cinta Pada Orang Tua

Aku miris melihat salah satu adegan di sinetron Lorong Waktu 5 yang sekilas tertangkap olehku ketika bersiap-siap berangkat ke kantor tadi pagi. Seorang kakek tua sedang duduk di belakang sebuah meja kayu kecil dan menyendokkan makanannya dengan tangan yang bergetar sementara anak dan menantunya tengah menikmati makan malam mereka di sebuah meja makan yang bagus dan besar. Kakek tua itu menderita penyakit jantung yang diikuti stroke, akibatnya tangannya kurang mampu menyendokkan makanan ke mulut dan bahkan sering kali memcahkan piring dan gelasnya, pernah juga sampai muntah di meja makan. Hal tersebut membuat anak dan menantunya malu. Maka disediakanlah meja khusus untuk si kakek lengkap dengan peralatan makan dari pelastik yang tentu saja anti pecah. Astagfirullah……batinku.

Kejadian itu memang hanya sepenggal kisah sinetron yang mungkin rekaan belaka. Tapi bukan hal mustahil kalau kejadian tersebut ada di kehidupan nyata.
Bagi yang sudah berumah tangga dan dikarunia anak mungkin sudah tau bagaimana repotnya mengurus anak. Tak terbayangkah bahwa orang tua kita juga serepot itu bahkan mungkin jauh lebih repot karena harus mengurusi 2,3, atau mungkin 5 orang anak sekaligus karena jarak antara anak satu dengan anak berikutnya hanya selisih 1 sampai 2 tahun ? Belum lagi sarana dan prasana waktu itu mungkin belum memadai, belum ada diaper, sehingga setiap habis pipis orang tua kita terutama ibu harus menggantikan celana dan mengepel bekas pipis di lantai. Belum lagi kalau anaknya ngompol di tempat tidur tentu tumpukan cucian akan bertambah. Itu hanya contoh kecil saja. Jasa mereka tek terbilang dan dengan sangat menakjubkan, mereka melakukan semuanya dengan tulus tanpa berharap imbalan sedikitpun.
Aku sering membaca kisah tegar orangtua yang diberikan ujian melalui anak-anak mereka. Mulai dari mereka yang dikaruniai anak authis, cacat, kelainan mental, sampai penyakit langka. Tetapi dengan keikhlasan seorang ibu, mereka merawat anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang, bahkan terkadang harus mengorbankan harta dan pekerjaan. Dan mereka tidak pernah malu di karunia anak-anak yang berbeda dengan anak lain.
Aku berharap ketika orang tua ku memasuki usia senja mereka, kami anak-anaknya berada di dekat mereka. Menjaga dan merawat mereka. bagaimanapun keadaan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan berkahNya yang tak putus kepada kedua orang tuaku yang juga tak pernah putus menyayangi kami anak-anaknya.
Amiin…….


Rosmini Laiya
Makassar, 05 September 2008

Senin, 01 September 2008

OUT BOND and SUPERCAMP

Dua minggu lalu, Rosa, menyampaikan padaku bahwa sekolahnya akan menyelenggarakan perkemahan di Soppeng, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, yang jaraknya kurang lebih 3 sampai 4 jam dari Makassar. Waktu itu Rosa bilang tidak mau ikut karena jaraknya yang terlalu jauh, lagipula anakku yang satu ini paling tidak bisa jauh dari aku.
Keesokan harinya Rosa mengadu tentang buku sosialnya yang hilang di sekolah. Aku menghiburnya dengan mengatakan bahwa mungkin bukunya tertinggal di sekolah atau tidak sengaja di bawa temannya.
“Tapi bu, di dalamya ada yel-yel kelompok out bond Rosa !”
“Biar saja, Rosa kan gak ikut”, timpalku
“Rosa mau ikut, outbondnya tidak jadi di Soppeng tapi di Benteng Sombaopu“, rengeknya
“Soalnya Pak Guru sudah ke Soppeng, lokasinya kotor kata Pak Guru”
“Ya sudah, kalau begitu besok yel-yelnya dicatat ulang di sekolah”, saranku
“Ibu senang kalau Rosa mau ikut kegiatan di sekolah, selain tambah pengalaman juga untuk melatih kemandirian Rosa”, jelasku memberinya semangat.

Outbond and Supercamp memang merupakan acara rutin yang diadakan sekolah Rosa stiap awal tahun ajaran, untuk mempererat persaudaraan di antara para siswa, melatih kemandirian, dan cinta lingkungan. Kegaiatannya banyak, ada acara api unggun, pertunjukan seni, nonton film, tilawah, shalat malam, dan puncaknya outbond yang di adakan keesokan harinya. Meskipun pengalaman tahun kemarin, setiap ada acara nginap entah itu di sekolah atau di alam terbuka, malamnya Rosa pasti nangis, aku tetap mendorongnya untuk ikut. Terima kasih buat bapak dan ibu guru Rosa yang sabar menghadapi Rosa pada saat nangis mencari ibunya. Bahkan meskipun setelah 4 kali ikut outbond cuma dua kali Rosa mau ikut flying fox, aku tetap memberinya semangat agar kali ini dia punya keberanian untuk kembali mencoba flying fox.
Semua orang tua tentu ingin anaknya sempurna, melihat murid lain yang adem-adem aja kalau jauh dari orang tua membuatku ingin agar Rosa juga seperti itu. Melihat teman-teman Rosa yang berlomba-lomba ingin mencoba flying fox, juga membuat ingin melihat Rosa seperti mereka. Ada kekecewaan setiap pulang outbond Rosa bilang kalau dia tidak berani naik flying fox.
Malam itu sudah pukul 21.00, kuambil surat pemberitahuan dari sekolah yang melampirkan jadwal acara perkemahan Rosa.
21.30 Istirahat, berarti sebentar lagi Rosa tidur dan sampai detik ini belum ada telepon dari gurunya seperti biasa. Kuletakkan ponselku di sampingku, menunggu, sambil menonton tv. Jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 22.00 tapi ponselku tak bordering. Fiuuh….aku bernafas lega, mungkin Rosa sudah terlelap di dalam tendanya. Akupun beranjak ke kamar, sebenarnya sejak tadi kantuk menyergapku, tapi kutahan, menunggu kalau-kalau ponselku tiba-tiba brdering. Sekarang aku yakin, Rosa, putri kecilku sudah bermimpi indah. Tidak sabar rasanya menunggu besok, ingin kucium pipinya sebagai hadiah dari kemanjuan yang diperlihatkannya.
Aku sengaja menjeputnya tepat pada saat seluruh rangkaian acara selesai. Berharap Rosa mau mencoba lagi flying fox, karena kalau aku ada pada saat kegiatan hight impact itu dilaksanakan Rosa pasti akan memelukku dengan erat dan enggan mendekati arena.
Sesampai di lokasi perkemahan, semua sudah bersiap-siap untuk pulang. Kulihat Rosa menuruni tangga rumah adat Gowa tempat peristirahatan mereka. Aku mendekatinya, dan kaliamat pertama yang diucapkannya adalah “Bu, saya tidak nangis tadi malam”, senyum mengembang dari bibirnya. Kuangkat jempolku seraya memujinya “anak hebat, begitu dong, Rosa sekarang sudah semakin besar, ya!”. Tak lupa kudaratkan ciuman ke pipinya. Rosa berlari menuju Bapaknya yang menunggu di motor karena Raihan tertidur dalam perjalanan tadi.
“Oooo, pantas terlambat, adek bobo sih”, Rosa menyimpulkan sendiri keadaan yang dilihatnya. Mungkin tadi Rosa berharap kami datang lebih cepat.
Masih teringat bagaimana senangnya wajah Rosa ketika mengabarkan bahwa dia tidak menangis tadi malam. Mungkin aku berharap terlalu banyak pada gadis kecilku. Mungkin aku berharap sesuatu yang belum mampu dilakukannya. Seharusnya tidak kubandingkan Rosa dengan anak-anak lain. Bukankah setiap anak unik, dan setiap anak mempunyai kesiapan yang berbeda-beda untuk mempelajari dan untuk melakukan sesuatu. Mungkin sekarang adalah waktunya untuk selangkah lebih maju, tidak menangis di malam hari ketika jauh dari aku. Mungkin lain kali akan tiba waktunya dimana Rosa siap meniti jembatan tali, dan melakukan flying fox ketiganya.
Kadang-kadang sebagai orang tua, kita memaksa anak kita menjadi seperti ini atau menjadi seperti itu tanpa memikirkan apakah mereka mau, mampu, dan senang melakukannya. Terkadang tanpa kita sadari kita memaksa anak-anak untuk melakukan sesuatu untuk memenuhi ambisi kita. Sering kali kita membandingkan anak kita dengan anak lain, si anu bisa begini, kenapa anak kita tidak ? lalu memaksanya untuk menjadi seperti anak lain. Padahal setiap anak unik, mereka memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, yang pasti setiap anak berbeda dengan ank lain.
Seharusnya itu kusadari sejak awal, tidak terlalu menuntut Rosa untuk melakukan flying fox. Rosa mau ikut kegiatan sekolah saja itu sudah lebih dari cukup, bukankah itu berarti Rosa mau belajar. Belajar tidur tanpa aku, belajar mandiri, dan mungkin belajar mengumpulkan keberanian untuk flaying fox berikutnya. Bagiku kini, tidak menangis ketika jauh dariku merupakan hal yang sangat berarti, tidak mengikuti flying foxpun bukan lagi hal yang mengecewakan bagiku. Apalah artinya tidak bisa flying fox, bukankah berani tidur di kamar sendiri pada pada usia 6 tahun adalah hal yang membanggakan ? Bukankah berani tampil di depan umum juga adalah hal yang tak kalah membanggakan, apalagi mengingat dulu Rosa sangat tidak pede kalau harus tampil di depan umum. Menjuarai lomba mewarnai di sekolah, masuk peringkat 3 besar di kelasnya, berani berenang di kolam renang dewasa, mulai berpuasa penuh pada umur 5 tahun, bisa shalat dengan sempurna baik sikap maupun bacaannya pada usia 6 tahun, bisa memandikan adiknya, dan banyak lagi hal lainnya yang dulunya bukan apa-apa bagiku kini menjadi sangat berarti. Bagiku semua itu merupakan prestasi bagi Rosa. Prestasi yang membanggakan.
Ternyata, sebagai orang tua saya masih harus banyak belajar. Belajar memahami anak, belajar melihat melalui mata kecil mereka, belajar merasa melalui hati mereka, dan berpikir melalui otak kecil mereka yang luar biasa. Bukan memaksa mereka mengerti dan memahami aku sebagai orang tua. Terima kasih, buat anak-anakku yang manis dan cerdas, melalui kalian, ibu belajar banyak hal. Ajarkan ibu lebih banyak lagi, agar ibu bisa memahami dunia kalian yang indah, penuh warna, dan penuh keceriaan.



Makassar, 01 September 2008